Selasa, 23 Agustus 2011

Guncangan Setelah Putusan MA

  • Oleh Hananto Widodo

JIKA ada sepuluh pengacara atau ahli hukum berkumpul, maka terdapat lebih dari sepuluh pendapat. Adagium ini kita kira tepat jika kita gunakan untuk menanggapi polemik terhadap putusan Mahkamh Agung (MA) yang berakibat pada perolehan kursi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Memang hingga sekarang polemik tentang putusan MA terus terjadi.

Ada yang mengatakan kalau putusan MA itu tidak boleh berlaku surut. Ada juga yang mengatakan kalau MA telah melampaui wewenang. Karena kewenangan memutus hasil perselisihan pemilu ada di tangan Mahkamah Konstitusi (MK), bukan MA.

Terlepas dari pendapat beberapa kalangan itu, yang harus digarisbawahi, putusan MA berkaitan dengan permintaan judicial review terhadap Pasal 22 huruf c dan Pasal 23 Ayat (1) dan (3) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 15 Tahun 2009 tentang Pedoman Teknis Penetapan dan Pengumuman Hasil Pemilu. Dalam putusan itu juga berisi perintah kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk merevisi SK No.25/Kpts/KPU/Tahun 2009 tentang Penetapan Kursi DPR.

Mungkin karena dalam putusan MA itu mengandung perintah kepada KPU untuk mengubah hasil pemilu inilah yang mengundang kontroversi. Hal ini wajar sebab putusan ini berakibat pada kehilangan kesempatan orang-orang yang telah ditetapkan sebagai anggota DPR. Akan tetapi persoalannya, apakah putusan MA itu salah? Artinya apakah memang putusan MA itu tidak boleh berlaku surut? Lalu apakah dengan putusan itu menandakan MA telah melampaui wewenang?

Untuk menjawab isu-isu tersebut marilah kita menengok kembali pada teori tentang judicial review. Dalam putusan terhadap permintaan hak uji ada dua macam putusan, yakni putusan retroaktif (ex tunc), yaitu peraturan perundang-undangan atau perbuatan administrasi negara tersebut dianggap tidak pernah ada dan tidak pernah merupakan suatu peraturan perundang-undangan atau perbuatan administrasi Negara yang sah.

Jadi setiap putusan ex tunc adalah berlaku surut pada saat peraturan perundang-undangan atau perbuatan administrasi negara tersebut ditetapkan.
Sementara itu, putusan prospektif (ex nunc) adalah putusan yang hanya berlaku ke depan (Fatmawati, 2005). Kalau kita kaji pada putusan MA tentang judicial review tersebut apakah termasuk putusan yang bersifat ex tunc atau ex nunc?

Untuk membedakan apakah putusan yang dikeluarkan oleh lembaga yudisial, maka mau tidak mau kita harus tahu syarat suatu putusan pengadilan itu disebut sebagai putusan yang bersifat ex tunc atau ex nunc. Untuk melihat apakah suatu putusan pengadilan itu bersifat ex tunc atau ex nunc, maka kita harus melihat pada wewenang pengadilan itu dalam memutus suatu perkara.

Apabila kewenangan pengadilan itu adalah untuk menyatakan tidak sah berarti putusan itu bersifat ex tunc. Kalau kewenangan pengadilan adalah untuk menyatakan bahwa pasal itu tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka putusan itu bersifat ex nunc.

Berdasarkan Undang-undang (UU) MA dinyatakan bahwa kewenangan MA dalam melakukan hak uji adalah untuk menyatakan tidak sah jika peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang itu bertentangan dengan undang-undang. Artinya putusan MA Nomor 15 P/HUM/2009 itu wajar. Perintah dari MA untuk merevisi SK KPU tentang Penetapan Kursi DPR juga merupakan hal wajar.

Namun persoalannya tidak berhenti sampai di sini, karena putusan itu berimbas pada perolehan kursi para politikus yang lebih mengedepankan logika politik tanpa mau melakukan langkah elegan jika mereka dirugikan akibat putusan MA tersebut.

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) pernah memberikan saran kepada KPU agar melaksanakan putusan MA itu. Dan setelah KPU melaksanakan putusan MA yang berakibat pada perubahan kursi yang diperoleh para caleg tersebut, maka caleg yang merasa dirugikan itu dapat menggugat keputusan KPU itu kepada MK. Tetapi sayang KPU telah berketetapan untuk tidak ”menggubris” MA.

KPU sekarang memang cenderung untuk melakukan manuver agar bagaimana terlihat ”manis” di hadapan publik. Karena sudah menjadi rahasia umum bahwa KPU periode sekarang adalah KPU dengan prestasi terburuk sepanjang era reformasi. Kekacauan daftar pemilih tetap (DPT) dan sebagainya adalah sebagian dari contoh. KPU ingin menyelamatkan muka dan mencoba melempar kesalahan pada MA. Padahal MA hanya berpatokan pada aturan formal sesuai dengan profesi sebagai penegak hukum.

Secara hukum memang gugatan pihak yang dirugikan akibat keputusan KPU melaksanakan putusan MA itu juga mengandung masalah. Sebab kewenangan MK dalam hal ini dianggap hanya berkenaan dengan perselisihan dari penghitungan suara. Bukan mengadili sengketa yang pada dasarnya penetapan hasil sisa suara.

Akan tetapi itu bukan menjadi masalah esensial sebab bagaimana pun tiap-tiap ahli hukum punya interpretasi yang berbeda dalam menangani suatu kasus. Bahkan dalam mengambil suatu putusan terkadang terdapat perbedaan pandangan di antara anggota majelis hakim. Perbedaan pandangan itu kita kenal sebagai dissenting opinion.

Mahfud berani memberi saran demikian bukan tanpa dasar, sebab MK di bawah kepemimpinan Mahfud telah beberapa kali melakukan terobosan hukum. Salah satu terobosan yang dilakukan oleh MK pada waktu kepemimpinan Mahfud adalah ketika menangani sengketa gugatan Pilgub yang diajukan oleh kubu Khofifah-Mudjiono. Gugatan Khofifah berkaitan dengan dugaan pelanggaran terstruktur dan masif yang dilakukan oleh kubu Soekarwo-Saifullah Yusuf.

Kalau kita lihat dalam Pasal 75 UU MK gugatan hanya berkisar pada kesalahan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh KPU. Tidak ada satu pasal pun yang mengatur kewenangan MK berkaitan dengan dugaan pelanggaran terstruktur dan masif. Namun akhirnya MK mengabulkan permohonan kubu Khofifah itu dan memerintahkan KPU Jatim untuk mengadakan pemilu ulang dan penghitungan ulang di tiga kabupaten Madura. Karena itu kita tidak perlu khawatir lagi dengan kinerja dan integritas dari MK. (35)
   
—Hananto Widodo, dosen Ilmu Hukum, UNESA (Universitas Negeri Surabaya

Sumber : Suara Merdeka, 05 Agustus 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar