Selasa, 23 Agustus 2011

Negara Hukum atau Negara UU?

  • Oleh Hananto Widodo
Pembentukan UU Rahasia Negara dan UU Perfilman mengundang kontroversi karena sarat dengan faktor kepentingan dan ideologi.

Salah satu fenomena yang terjadi pasca-Orde Baru adalah semakin produktifnya kegiatan legislasi. Hal ini ditandai dengan banyaknya Undang-Undang yang lahir. Kalau kita hitung mungkin mulai tahun 1999 sampai dengan sekarang baik DPR maupun eksekutif sudah melahirkan ribuan UU.
Memang salah satu ciri dari negara hukum (rechtstaat)  adalah asas legalitas.


Artinya semua hukum harus tertulis, karena tujuan dari asas legalitas adalah untuk mencapai kepastian hukum. Namun, apa berarti kita dapat membuat UU seenaknya? Kalau itu yang terjadi, alih-alih akan terwujud kepastian hukum.
Yang terjadi justru sebaliknya. Kepastian hukum akan terwujud, tetapi tidak sempurna juga bersifat temporer. Mengapa demikian ? Paling tidak ada dua alasan. Pertama, akan terjadi tumpang tindih di antara UU yang ada.

Kedua, kalau sampai suatu UU di uji materiil oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dan MK menyatakan UU tersebut bertentangan dengan konstitusi, maka tamatlah apa yang dinamakan kepastian hukum itu. Contoh yang paling nyata adalah UU Komisi Yudisial. Setelah kewenangan Komisi Yudisial (KY) untuk mengawasi hakim ”dipangkas” oleh MK, eksistensi KY menjadi hidup tak mau mati segan.

Lahirnya banyak UU pasca-Orde Baru ini tidak lepas dari keinginan banyak pihak agar DPR sebagai lembaga pembentuk UU dapat menjalankan fungsinya tersebut. Namun, itikad baik untuk memberdayakan fungsi legislasi dari DPR ternyata membawa ekses terhadap kehidupan para anggota legislatif itu.

Seperti diungkapkan oleh Effendi Simbolon (FPDIP), Mustapa Kamal (Wakil Ketua FPKS), dan Yuddy Chrisnandi (FPG) bahwa mayoritas anggota DPR bersentuhan dengan uang panas yang dimainkan di bawah meja setiap pembahasan rancangan undang-undang (RUU) (12/09).

Dari kesaksian ketiga anggota DPR itu dapat kita tarik kesimpulan bahwa lahirnya suatu UU juga tidak bisa lepas dari pesan sponsor. Perubahan konfigurasi politik dari otoritarian Orde Baru ke demokratik diharapkan menghasilkan UU yang responsif. Secara konseptual konfigurasi politik otoriter akan menghasilkan produk hukum yang represif. Sebaliknya konfigurasi politik yang otoriter akan menghasilkan produk hukum yang responsif.

Pertanyaannya apakah secara konseptual harapan itu sejalan dengan realitas yang terjadi? Marilah kita tengok kembali RUU Rahasia Negara dan UU Perfilman yang sarat dengan kontroversi itu.

Harapan dari banyak orang bahwa dengan dibentuknya suatu UU, maka UU itu akan memberikan perlindungan terhadap hak asasi masyarakat. Oleh karena itu jika ada UU yang memberikan sanksi yang tegas, maka UU itu dianggap tidak represif. Ingat, perlindungan atau jaminan terhadap hak asasi manusia bukan sekadar memberikan kebebasan kepada setiap manusia, tetapi arti dari suatu jaminan hak asasi manusia juga berarti memberi batasan terhadap hak-hak seseorang. Mengapa? Karena bagaimanapun kebebasan seseorang dalam menjalankan haknya akan selalu dibatasi oleh hak orang lain.

Oleh karena itu pemberian sanksi, khususnya sanksi pidana yang diatur dalam suatu UU merupakan sesuatu yang wajar. Namun, bukan berarti para pembentuk UU dapat dengan seenak mengatur sanksi pidana dalam suatu UU tanpa alasan yang dapat dipertanggung jawabkan.

Mengutip pendapat Habermas tentang demokrasi deliberatif, setiap pengambilan keputusan harus diambil berdasarkan argumentasi yang dapat dipertanggung jawabkan.

Dengan demikian, dalam pembentukan suatu UU yang patut untuk diamati adalah sejauh mana dinamika perdebatan atau adu argumentasi yang terjadi selama RUU itu dibahas. Lalu pihak mana saja yang terlibat dalam perdebatan itu. Apakah melibatkan pihak-pihak yang berkepentingan.

Di samping berbicara mengenai proses perdebatan dalam pembentukan UU, kita juga harus menengok pada indikator dalam membentuk suatu UU. Ann Seidman (2001)  memilahnya dalam kategori ROCCIPI, yaitu Rule  (Peraturan), Opportunity (Kesempatan), Capacity (Kemampuan), Communication (Komunikasi), Interest (Kepentingan), Process (Proses) dan Ideology (Ideologi).

Dari ke tujuh kategori itu dipilah lagi menjadi dua faktor, yaitu faktor subyektif dan objektif. Faktor-faktor subyektif terdiri dari apa yang ada dalam benak para pelaku peran; kepentingan-kepentingan mereka dan ”ideologi-ideologi (nilai-nilai dan sikap)” mereka (ibid).

Dengan demikian, dalam pembentukan UU yang sarat dengan nilai kepentingan dan ideologi tentu akan mengundang kontroversi. Pembentukan UU Rahasia Negara dan UU Perfilman mengundang kontroversi karena sarat dengan faktor kepentingan dan ideologi.

Adanya UU Rahasia Negara dianggap oleh beberapa kalangan dapat memberangus kebebasan pers. Sementara itu, dengan adanya UU Perfilman dianggap oleh beberapa kalangan dapat merugikan kepentingan insan perfilman.

Kalau kita amati pembentukan UU yang sarat dengan faktor kepentingan dan ideologi justru menjadi perhatian utama di negeri ini. Meskipun ada UU yang secara konstitusional lebih urgen dibentuk karena mendapat perintah dari UUD (UU organik), tetapi karena faktor kepentingan dan ideologi kurang menonjol, maka justru UU itu tidak ketahuan bagaimana nasibnya. Kita ambil contoh tentang RUU tentang Kebahasaan.

RUU ini sudah dibahas selama lima tahun lebih dengan melibatkan beberapa pakar dan pemangku kepentingan, tetapi hingga kini RUU ini tidak pernah ada kabar beritanya. Memang UU yang sarat dengan kepentingan dan ideologi akan lebih menarik untuk dibahas ketimbang UU yang hanya sedikit muatan kepentingan dan ideologinya.  (80)

—Hananto Widodo, dosen Ilmu Hukum Universitas Negeri Surabaya (Unesa)
Sumber : Suara Merdeka, 16 September 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar