Senin, 22 Agustus 2011

RUU Pilpres Dan Korupsi Politik

Oleh Hananto Widodo

Dibandingkan dengan RUU politik yang lain, pembicaraan mengenai RUU Kepresidenan lebih menarik untuk diamati. Sebenarnya pembicaraan mengenai RUU politik lainnya, seperti RUU Pemilu, masih berada pada hulu, sementara hilirnya ada pada RUU Kepresidenan.

Mengapa masalah dalam RUU Kepresidenan lebih krusial dibandingkan dengan RUU politik yang lain? Pertama, secara konvensional, mulai masa orla sampai orba, telah terjadi sakralisasi jabatan presiden. Kebiasaan yang sudah tertanam dalam pola pikir masyarakat Indonesia, terutama para elite politik, terus berlanjut hingga sekarang.


Coba kita tengok bagaimana Amien Rais begitu getol untuk menggulingkan Soeharto dari kekuasaannya. Lalu, apa yang dilakukan Amien Rais setelah Soeharto tumbang? Dia terang-terangan mengatakan punya minat untuk menjadi presiden. Meskipun akhirnya pada 1999 Amien tidak maju sebagai calon presiden, itu bukan karena ambisinya pudar, tapi karena perolehan suara PAN tidak signifikan untuk mengusung Amien sebagai calon presiden.

Contoh lain dapat kita lihat pada beberapa tokoh yang mempunyai ambisi menjadi presiden, seperti Wiranto dan Prabowo.

Kedua, salah satu tujuan dari perubahan UUD 1945 adalah untuk memperkuat sistem presidensial. Ciri-ciri paling substansial sistem presidensial adalah pemerintahan yang kuat. Artinya, pemerintah (presiden) tidak dapat dijatuhkan sebelum masa jabatannya berakhir dengan alasan politis.

Dalam amandemen III UUD 1945, presiden dan Wapres hanya dapat diberhentikan dari jabatannya sebelum masa jabatannya berakhir jika presiden dan Wapres melakukan pelanggaran hukum (vide Pasal 7A amandemen III UUD 1945).

Karena presiden merupakan jabatan prestisius, maka persoalan-persoalan yang diangkat dalam wacana RUU Kepresiden adalah persoalan-persoalan yang tidak jauh dari persoalan agar calon dari masing-masing parpol di parlemen bisa gol.

Bahkan, para anggota fraksi tersebut berusaha menjegal calon parpol lain agar rival dari calonnya berkurang. Usaha menjegal calon lainnya itu dapat kita lihat pada adanya syarat pendidikan sarjana bagi capres/cawapres. Syarat pendidikan sarjana bagi capres/cawapres akhirnya didrop.

Persoalannya kemudian mulai bergeser ke arah suara minimal atau persentase perolehan secara nasional bagi parpol-parpol yang berhak mengajukan capres/cawapres.

Partai Golkar menginginkan 20-25 persen, PDIP menginginkan 25 persen, PKB menginginkan 15 persen, PPP 15 persen, Partai Demokrat 15 persen, PKS 15 persen, PDS 15 persen, dan PAN 2,5 persen (Jawa Pos, 30/09/08).

Korupsi Politik
Perdebatan mengenai persentase minimal parpol yang dapat mengajukan capres dan cawapres juga tidak bisa lepas dari kepentingan-kepentingan parpol agar mereka dapat mengegolkan calonnya. Kalau kita lihat secara saksama, sebenarnya masalah persentase yang diatur dalam UU No. 23/2003 tentang Pilpres tidak mengundang masalah yang signifikan hingga sekarang.

Dalam Pasal 5 ayat 4 UU tersebut dinyatakan bahwa “pasangan calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol yang memperoleh sekurang-kurangnya 15% dari jumlah kursi DPR atau 20% dari perolehan suara sah secara nasional.”

Lalu, apa yang menjadi masalah dalam UU Pilpres sekarang? Tidak lain adalah masalah pendanaan kampanye pilpres. Persoalan ini muncul berkaitan dengan munculnya kasus korupsi di Departemen Perikanan dan Kelautan yang telah menyeret dan menjebloskan mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Rokhmin Dahuri ke dalam penjara.

Sebagaimana diketahui, selaku menteri, Rokhmin Dahuri mengucurkan sejumlah uang dari dana nonbujeter ke beberapa capres beserta tim suksesnya. Salah seorang dari mereka yang terang-terangan menerima uang dari Rokhmin adalah Amien Rais.

Memang lolosnya capres-cawapres beserta tim suksesnya tidak bisa dilepaskan dari kemauan aparat penegak hukum untuk memeriksa mereka. Tetapi, jika kita lihat secara lebih cermat dalam UU Pilpres sekarang, ancaman hukuman bagi pelaku kampanye yang menerima uang di luar yang ditentukan dalam UU masih terlalu ringan. Ancaman hukuman bagi orang yang telah menerima baik dari pemerintah maupun BUMN hanya paling singkat 4 bulan dan paling lama 24 bulan.

Paling tidak ada dua opsi agar pemerintah dan BUMN/BUMD tidak menjadi sapi perahan bagi para pelaku politik, terutama pelaku kampanye pilpres. Pertama, masalah tersebut lebih baik diatur dalam UU Korupsi dan merupakan kewenangan KPK untuk menanganinya.

Persoalan ini layak dimasukkan dalam UU Korupsi karena masalah dana pemerintah dan BUMN/BUMD akan selalu mengarah pada unsur kerugian negara.

Kedua, masalah tersebut diatur dalam UU Pilpres, tetapi dengan menambah kuantitas ancaman hukumannya agar timbul efek jera bagi para pelaku kampanye pilpres. Namun, alangkah bijaknya jika kita memilih opsi pertama, yaitu dimasukkan ke dalam RUU Korupsi. Sebab, sebagaimana yang telah tampak dalam kasus Rokhmin Dahuri, uang negara banyak dihamburkan untuk kepentingan capres/cawapres. (Sumber: Jawa Pos, 4 Oktober 2008).

Tentang penulis:
Hananto Widodo, dosen Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Surabaya (Unesa).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar