Senin, 22 Agustus 2011

Bola Salju Korupsi

  • Oleh Hananto Widodo
KETAKUTAN orang kaya adalah ketika dia jatuh miskin. Ketakutan penguasa adalah ketika dia harus kehilangan jabatan. Ketakutan koruptor adalah ketika dia harus masuk penjara. Oleh karena itu janganlah heran ketika Tim Sukses Capres-Wapres 2004 serta anggota DPR yang diduga mendapat aliran dana dari Departemen Perikanan dan Kelautan tidak mau mengakui perbuatannya.
Korupsi di DKP sekarang tidak lagi merupakan fenomena gunung es, tetapi sudah mulai mencair ke bawah. Siapa yang terlibat mulai terbuka. Pertama mengakui menerima dana dari DKP adalah Amien Rais. Dia siap dipenjara. Amien minta agar semua penerima dana DKP mengakui perbuatannya. Amien juga melemparkan tuduhan. Salah satu pihak yang merasa tertuduh adalah Presiden SBY, sehingga SBY akhirnya mengklarifikasi pernyataan Amien
Klarifikasi SBY mendapat tanggapan dari berbagai pihak.Polemik terhadap klarifikasi SBY justru membuat lupa pada substansi korupsi DKP. Orang kesulitan mencari dasar hukum guna menjerat para politisi yang telah menerima dana DKP tersebut. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bahkan menolak memroses orang- yang diduga menerima dana DKP, karena itu merupakan wewenang KPU.

Pasal 45 ayat (1) huruf c UU No 23 /2003 tentang Pemilu Presiden&Wakil Presiden menyatakan bahwa Pasangan Calon dilarang menerima sumbangan atau bantuan lain untuk kampanye yang berasal dari pemerintah, BUMN, dan BUMD. Pasal 89 ayat 7 menyatakan, setiap orang yang dengan sengaja menerima atau memberi dana kampanye dari atau kepada pihak-pihak yang dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1), diancam dengan pidana penjara paling singkat 4 bulan atau paling lama 24 bulan dan/atau denda paling sedikit dua ratus juta rupiah atau paling banyak satu miliar rupiah.
Sepintas Pasal 45 ayat (1) UU Pilpres ini dapat digunakan oleh kepolisian untuk menjerat politisi yang diduga mendapatkan uang dari DKP. Namun, sebenarnya secara tidak langsung Pasal ini justru menjadi "pengaman" pihak yang telah mendapat dana DKP. Mengapa ? Karena di samping ancaman hukuman dalam UU Pilpres relatif ringan, persoalan aliran dana DKP ini juga dianggap sebagai tindak pidana administratif. Padahal substansi dari persoalan aliran dana DKP ini adalah adanya kerugian keuangan negara.
Dengan demikian, persoalan aliran dana DKP merupakan persoalan korupsi yang harus diselesaikan dengan UU Korupsi, bukan dengan UU Pilpres.
Ada kepentingan apakah Rokhimin Dahuri kepada para Tim Sukses Capres-Cawapres 2004, sehingga dia rela untuk menggerogoti keuangan negara demi memberi sumbangan kepada para Tim Sukses Capres-Cawapres ? Menurut ketua Pusat Kajian Antikorupsi UGM Denny Indrayana, Rokhimin memberikan dana kepada Tim Sukses agar dia nanti mendapat jabatan (JP, 26/05/07). Kalau yang diberi dana itu hanya satu pasangan Capres-Cawapres, maka Rokhimin tentu akan gambling. Belum tentu pasangan yang disokong akan menang.
Konsesi politik semacam ini dalam dunia politik merupakan hal biasa. Dengan demikian, kita patut curiga bahwa Departemen yang telah melakukan sokongan keuangan keuangan kepada para Tim Sukses Capres-Cawapres bukan hanya DKP tetapi juga lainnya.
Banyak pengamat yang menyatakan bahwa jika Presiden SBY dan Wapres JK terbukti memperoleh dana dari DKP, maka SBY-JK dapat diberhentikan dari jabatannya sebagai Presiden dan Wapres. Benarkah demikian ? Ingat, kasus aliran dana DKP terjadi ketika SBY dan JK masih berstatus sebagai Capres dan Cawapres.
Pasal 7A amandemen III UUD 1945 menyatakan, Presiden dan/atau Wapres dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh MPR atas usul DPR, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila tidak terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan Wapres.
Dengan demikian, Pasal 7A ini hanya dapat diterapkan jika Presiden SBY dan Wapres JK melakukan perbuatan tersebut ketika mereka berstatus sebagai Presiden dan Wapres. Di samping itu, secara politis SBY-JK sangat tidak mungkin untuk dijatuhkan dari jabatan mereka, sebab untuk memberhentikan mereka dari jabatannya, harus melalui penilaian DPR terlebih dahulu. Sementara itu, banyak anggota DPR yang justru terlibat dalam kasus DKP. (11)
-- Hananto Widodo, dosen Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Surabaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar