Senin, 22 Agustus 2011

Kejanggalan Putusan MK

Oleh Hananto Widodo
Setiap Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan dalam kasus apa pun pasti akan terjadi pro dan kontra dari berbagai pihak. Mengapa? Karena putusan MK ini akan menjadi penentu terhadap nasib banyak orang. Begitu juga putusan MK tentang sengketa pilkada Surabaya yang isinya antara lain memerintahkan coblos ulang di lima kecamatan dan dua kelurahan di Surabaya.
Beberapa pihak melihat bahwa putusan MK ini sudah kebablasan. Dalam putusan MK juga ada kejanggalan, yakni meminta penghitungan ulang seluruh kotak suara se-Surabaya, kecuali yang diadakan coblos ulang.
Sebenarnya putusan MK yang kontroversial sudah banyak terjadi. Mulai memutus di luar yang dimohonkan (ultra petita) dan memutus suatu perkara dengan dasar hukum yang diragukan.

Putusan kontroversial MK tentang sengketa pilkada dimulai dari dikabulkannya gugatan Kaji dalam kasus sengketa Pemilu Gubernur Jawa Timur. Sebagaimana diketahui, kubu Kaji menggugat Keputusan KPUD Jawa Timur. Kubu Kaji menganggap telah terjadi kecurangan terstruktur dan masif di tiga kabupaten di Madura, yakni Bangkalan, Sampang, dan Pamekasan. MK akhirnya memerintahkan KPUD Jawa Timur untuk menghitung ulang dan pencoblosan ulang di tiga kabupaten di Madura tersebut.
Kalau kita lihat dalam pasal 75 UU No 23 Tahun 2003 tentang MK bahwa dalam permohonan yang diajukan, pemohon wajib menguraikan dengan jelas tentang: a. Kesalahan hasil penghitungan suara yang diumumkan Komisi Pemilihan Umum dan hasil penghitungan yang benar menurut pemohon; dan b. permintaan untuk membatalkan hasil penghitungan suara yang diumumkan Komisi Pemilihan Umum dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut pemohon.
Dengan demikian, putusan MK tentang pilkada Jatim tentang perintah penghitungan ulang dan pencoblosan ulang telah menerabas pasal 75 UU MK, karena pasal 75 UU MK hanya berkaitan dengan kesalahan hasil penghitungan suara yang diumumkan KPU, bukan berkaitan dengan kecurangan terstruktur dan masif. Kecurangan yang dilakukan pihak rivalnya adalah wilayah kewenangan pihak kepolisian dan panwas, karena kecurangan dalam pemilu itu dapat dikategorikan sebagai tindak pidana pemilu.
Namun, langkah MK mengambil putusan tersebut justru mendapat apresiasi dari beberapa kalangan. Beberapa kalangan tersebut berpendapat bahwa MK telah melepaskan diri dari “penjara” undang-undang. Artinya, fungsi MK sebagai penjaga konstitusi (guardian of constitution) tidak semata-mata dimaknai sebagai corong undang-undang semata.
Lalu bagaimana dengan putusan MK tentang sengketa pilkada Surabaya? Bukankah MK juga telah menerobos perintah kepada KPU Kota Surabaya untuk melakukan coblos ulang di lima kecamatan dan dua kelurahan di Surabaya?
Ingat, putusan MK tentang sengketa pilgub Jatim berbeda dengan putusan MK tentang sengketa pilkada Surabaya. Memang putusan itu berisi perintah untuk melakukan pemilihan ulang di beberapa wilayah tertentu. Namun, putusan MK tentang pilgub Jatim tidak memutus apa yang di luar yang dimohonkan oleh pemohon.
Pada kasus sengketa pilgub Jatim, pihak pemohon memang mempermasalahkan dugaan kecurangan yang terjadi di tiga kabupaten di Madura. Dan, MK meresponsnya dengan memerintahkan KPU Jatim melakukan pemilihan dan penghitungan ulang di tiga kabupaten Madura tersebut.
Bagaimana argumentasi bahwa MK dibenarkan melakukan kewenangan untuk memutus perkara di luar yang dimohonkan, seperti dalam hal pengujian undang-undang (ultra petita)? Sebab, dalam pengujian terhadap UU BHP, MK telah memutus perkara pengujian tersebut di luar yang dimohonkan tersebut. Para pemohon hanya memohon agar beberapa pasal yang ada dalam UU BHP dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Tetapi, kenyataannya MK justru membatalkan keseluruhan dari pasal UU BHP.
Dalam konteks pengujian UU, memang MK dapat dibenarkan memutus di luar yang dimohonkan oleh pemohon. Berbeda dengan sengketa perdata, hakim hanya boleh memutus apa yang dimohonkan oleh pemohon. Dalam sengketa ketatanegaraan, hakim diberi keleluasaan memutus di luar yang dimohonkan. Sebab, berbeda dengan putusan hakim dalam kasus perdata yang hanya memberikan implikasi terhadap pihak-pihak yang beperkara, sedangkan putusan MK tidak sekadar berimplikasi bagi pihak-pihak yang beperkara, tetapi juga secara umum.
Dengan demikian, konteks MK dalam memutus suatu pengujian UU terhadap UUD dan konteks MK dalam memutus sengketa pilkada merupakan dua hal yang berbeda. Meskipun pemohon tidak memohon keseluruhan UU dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, MK dengan kreasinya dapat menilai UU itu bertentangan atau tidak dengan UUD, karena fungsi MK yang utama adalah sebagai penjaga konstitusi.
Logika yang digunakan hakim untuk menilai sengketa pilkada jelas berbeda dengan logika hakim yang digunakan untuk menilai suatu pengujian UU terhadap UUD. Logika yang digunakan hakim dalam memutus suatu pengujian UU terhadap UUD lebih dititikberatkan pada logika aturan. Sementara itu, logika yang digunakan hakim dalam memutus sengketa pilkada lebih dititikberatkan pada logika fakta.
Bagaimana hakim bisa memerintahkan pencoblosan ulang di lima kecamatan dan dua kelurahan jika hakim itu sendiri tidak paham dengan fakta yang terjadi di lapangan? Karena itu, janganlah heran ketika para tokoh masyarakat di Kecamatan Rungkut dan Sukolilo merasa dizalimi dengan putusan MK itu.
Mudah-mudahan dengan reaksi masyarakat Surabaya terhadap putusan MK ini, MK lebih berhati-hati dalam mengambil suatu putusan. Apalagi, Ketua MK Mahfud M.D. pernah berkomitmen bahwa dia tidak akan melakukan ultra petita. (Sumber: Jawa Pos, 13 Juli 2010)
Tentang penulis:
Hananto Widodo, Pengajar Hukum Tata Negara Universitas Negeri Surabaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar